“Aduh,
maaf”, aku tidak sengaja menginjak kakinya saat mencari posisi duduk di dalam
travel yang penuh sekali malam itu. Tidak heran sih, abis long weekend soalnya.
“Iya
nggak papa”, katanya namun aku tak memperhatikan. Aku sibuk menata posisi
dudukku diantara dia dan wanita entah siapa dan mencoba berpikir jernih,
menenangkan pikiranku, perjalanan ke Surabaya ini akan baik-baik saja.
Bagaimana pikiranku bisa tenang, kalau di sebelahku saat ini adalah dia. “Tadi
sopirnya bingung cari alamat rumahmu. Sebenernya aku mau nunjukin arahnya, tapi
dia bingung alamat atas nama Ati”, dia memulai percakapan.
“Ati?
Haha masa namaku berubah jadi Ati? Tapi nggak tau juga sih, kemarin yang yang
mesenin travelku Mama. Mungkin Mama lupa nama anaknya kali yaaa”
“Loh? Aku
dipesenin sama Mama-mu juga?”
Aku
menoleh menatap wajahnya, “Kalo kamu, aku yang mesenin”. Aku menghadap depan
lagi. Menghitung berapa penumpang yang belum dijemput. Kurang kerjaan memang,
tapi dari pada menatap wajahnya terus-menerus dan membuatku.... Astaga makhluk
Tuhan yang satu ini yaaa.
Obrolan
ringan pun berlanjut sekitar satu jam lebih. Para penumpang lainnya mulai sepi,
ada beberapa sudah terlelap. Tapi aku? Jangankan berniat tidur, ngantuk aja
lagi absen malam ini. Entahlah kemana perginya ngantuk. Mungkin karena kedua
pipiku sedang terasa panas saat lengan kananku bersentuhan dengan lengan
kirinya. Kapan terakhir kita ketemu? Sepertinya rindu ini sudah meluap-luap. Dua
bulan yang lalu ya? Kita berdua mengunjungi Wisata Bahari Lamongan. Setelah
itu? Kamu menghilang lagi. Kata Andra, salah satu teman baikku, dia seperti
hantu. Jelangkung mungkin lebih tepat menurutku. Karena dia datang tak
dijemput, pulang tak diantar. Hehe
Mencoba
menutup mata meskipun aku tahu, aku tak kan terlelap hingga perjalanan ini
selesai. Hingga napasku tertahan saat kepalanya jatuh di pundakku. Apakah aku
sudah bilang kalau pipiku memanas? Kalau sudah, berarti sekarang lebih panas
lagi. Semoga dia tidak merasakan panasnya pipiku, semoga dia tidak sadar
detak jantungku yang lebih cepat, semoga tidak tahu aku sedang kesulitan
bernafas normal.
Walaupun lupa bagaimana cara
bernafas yang benar, tapi aku masih bisa mencium wangi rambutnya, wangi badannya.
Aku curiga dia menghabiskan 3 botol shampo dan body wash untuk mandi sebelum
berangkat. Dan aku yakin wanginya bakal
kuat sampai lima jam kedepan.
Aku mulai bisa mengatur napas saat dia mulai
menegakkan tubuhnya. Jadi kenapa aku malah merasakan kehilangan?
Mungkin kali ini aku harus
berterima kasih kepada sopir travel yang melaju dengan ugal-ugalan. Itu
membuatku kepalaku jatuh ke bahunya. Sebenarnya aku bisa menegakan tubuhku
kembali—secara
aku dalam keadaan sadar, tidak tidur—tapi aku membiarkan posisi ini. Untuk beberapa menit
saja tetaplah seperti ini. Udara dingin yang disebabkan AC travel tidak terasa
lagi. Tiba-tiba hangat merasuk tubuh saat aku merasakan kedua tanggannya
membalut tangan kananku. Mengusir semua dingin di kulit. Terkadang dia membelai rambutku, membetulkan posisi kepalaku di bahunya agar aku lebih nyaman lagi.
Boleh kah aku memohon padamu? Kumohon kamu jangan pernah pergi lagi. Kumohon kembalilah seperti dulu, kamu yang selalu ada di tiap hariku. Aku ingin setiap hari mendapatkan kabarmu lagi.
Kenapa aku tidak bisa mengatakannya? Kenapa aku tidak bersuara sama sekali?
Tidak, bukannya aku tidak bisa. Aku hanya sadar akan posisiku sekarang. Aku hanya sadar statusku saat ini. Dan aku sadar bagaimana keadaan kita. Kita tidak mungkin berpacaran seperti dulu lagi. Iya aku tahu itu. Jadi, semua permohonanku barusan hanya ada dalam hatiku saja.
Lalu aku mendengar suara ...
Boleh kah aku memohon padamu? Kumohon kamu jangan pernah pergi lagi. Kumohon kembalilah seperti dulu, kamu yang selalu ada di tiap hariku. Aku ingin setiap hari mendapatkan kabarmu lagi.
Kenapa aku tidak bisa mengatakannya? Kenapa aku tidak bersuara sama sekali?
Tidak, bukannya aku tidak bisa. Aku hanya sadar akan posisiku sekarang. Aku hanya sadar statusku saat ini. Dan aku sadar bagaimana keadaan kita. Kita tidak mungkin berpacaran seperti dulu lagi. Iya aku tahu itu. Jadi, semua permohonanku barusan hanya ada dalam hatiku saja.
Lalu aku mendengar suara ...
“Mbak, mbak, bangun mbak, ini sudah
sampai. Rumah mbak yang mana?”, aku berusaha membuka mata. Semua penumpang
travel sudah nggak ada. Hanya aku sendirian. Jadi apakah aku barusan bermimpi?
Tapi kenapa terasa begitu nyata?
“Masuk gang itu, Pak. Lurus ada
perempatan belok kiri”, jawabku saat sudah benar-benar sadar.
Hai kamu, selamat pagi. Aku bermimpi
tentangmu lagi. Entah ini mimpi yang ke berapa. Bisakah kamu datang secara
nyata sekali-kali? Karena aku sangat merindukanmu.
3 komentar:
omijot foto gambarnya :D hahihhihi
haha pas banget kaaan :p
:(
Posting Komentar