Baby you showed me what livin’ is for
I don’t wanna hide anymore
You lift my feet off the ground
You spin me around
You make me crazier crazier
Feels like I’m falling and I’m lost in your eyes
You make me crazier crazier crazier crazier crazier
You spin me around
You make me crazier crazier
Feels like I’m falling and I’m lost in your eyes
You make me crazier crazier crazier crazier crazier
Alunan lagu Crizier yang dinyanyikan oleh penyanyi cantik
asal Tenessea, USA, yaitu Tailor Swift terputar secara random di playlist mp3ku. Menemani siangku yang sendirian
di kantin kampus. Dua jam aku menunggu, namun aku tidak mencoba menghubungi teman-temanku
untuk segera datang. Tampaknya aku menikmati kesendirianku di tengah-tengah
ramainya orang mengantri makanan. Sebenarnya aku ini hanya memenuhi ruangan
kantin. Mungkin ada yang sebal melihatku, duduk tapi enggak memesan satu menu
pun. Biarkan saja, toh tidak ada peraturan dilarang duduk tanpa memesan. Aku
tetap cuek terhadap keadaan sekitar. Kali ini, aku membiarkan diriku
benar-benar menikmati lagu tersebut di dalam airphone kesayanganku. Tidak merasakan kebisingan kantin, tidak
merasakan kehadiran orang yang berlalu-lalang sibuk mencari tempat duduk, aku
menciptakan dunia kecilku sendiri. Mengenang dulu aku pernah mendengarkan lagu
ini berdua dengan seseorang. Sampai akhirnya ada yang memanggilku…
“Iya-iya, enggak apa-apa kok”, kataku santai. Entah kenapa aku
tidak merasa sebal setelah menunggu selama itu. Aku malah sedikit kecewa saat mereka
datang. Tandanya aku harus mematikan mp3ku
dan mencopot airphoneku dari telinga.
Berarti aku harus berpisah sama Crazier-nya
Taylor Swift. Padahal aku mau mendengarkannya satu kali lagi. Oh bukan, dua
kali lagi mungkin. Atau tiga kali? Empat kali? Terserah. Aku mau
mendengarkannya berkali-kali dan membayangkan dia saat ini ada di sampingku.
Seperti waktu itu.
“Hei, ngelamun aja. Kita udah di sini malah ngelamun sendiri.
Eh, gimana? Sudah ketemu dia?”, tanya Aya padaku sambil melambaikan tangan di depan
mukaku, menyadarkanku dari lamunan. Aku hanya gelengkan kepala.
“Kemarin kalian yang bilang kan kalau dia pengen ketemu sama
aku, biarin aja dia telpn aku lagi kalau memang dia serius mau ketemu aku”. Sebenarnya
apa yang barusan aku katakan hanya alasan semata. Aku mengarang saja biar tidak
bertemu dengannya. Walaupun aku tahu, aku bakal merindukannya setengah mati
seperti kata D’massiv, tapi aku harus menghindarinya. Setidaknya untuk
dekat-dekat ini. Karena aku takut. Aku takut dia menemuiku untuk mencabut hakku
untuk bisa berada di sisinya, hakku akan tau kabarnya setiap hari dan hakku
akan cintanya selalu untukku.
“Maaf sayaang.. Sebenarnya..”, Disty tidak melanjutkan
kata-katanya. Raut wajahnya bingung, tidak tahu harus berbicara seperti apa.
Disty menyenggol lengan Lucky, berharap Lukcy mau melanjutkan perkataannya yang
terputus tadi. Aku merasa ada ketidakberesan di sini. Mereka menyembunyikan
sesuatu dariku. Mereka masih diam, saling melihat satu sama lain. Aku hanya memperhatikan
tak penuh minat. Dan sekarang aku mulai sebal. Mendingan aku disuruh menunggu
mereka berjam-jam lagi dari pada harus begini.
“Ada apa sebenarnya? Kalian melihat Akbar jalan sama cewek
lain?”, kataku menebak asal.
“Bukan. Bukan begitu, Marin. Oke, biar aku yang jelasin”,
Lucky pindah duduk ke sampingku. Aku
mencoba tetap tenang, menahan debaran jantungku yang kencang seperti menunggu
nilai kuis Kalkulus, mata kuliah yang paling aku benci. Lucky mulai bercerita
dari awal. Sebenarnya, dua hari yang lalu Akbar sms aku. Sudah hampir dua
minggu aku tidak ada komunikasi dengannya. Tiba-tiba, dua hari yang lalu dia
sms aku. Kebetulan pada waktu itu handphoneku
dipegang Lucky. Dia langsung menghapus sms tersebut dan bilang padaku bahwa ada
telp dari Akbar mengajakku bertemu secepatnya. Saat itu aku merasa bersyukur
tidak menerima telp dari Akbar. Berarti aku bisa menunda waktu untuk bertemu
dengannya. Aku berusaha mencuri kesempatan untuk tetap memiliki status itu
lebih lama. Status dia punyaku dan aku punyanya. Seandainya aku tahu sms itu,
mungkin aku tidak bisa bersembunyi lagi dan aku kehilangan kesempatanku untuk
tetap bersamanya lebih lama. Isi sms itu bukan menanyakan kabar, bukan
menanyakan aku sudah makan apa belum, dan bukan basa-basi lainnya. Namun, “’Aku
sudah tidak bisa lagi bersamamu, Marina’ itu isi sms dari Akbar”, Lucky
menyelesaikan penjelasannya. Aku tidak bisa berkata-kata. Jantungku tidak
berdetak cepat lagi, melainkan seperti sudah berhenti berdetak. Tubuhku lemas
seketika. Tapi aku berusaha sekuat tenaga tidak menunjukkannya di depan
teman-temanku. Sungguh aku ingin dipandang sebagai cewek kuat. Ternyata tak
semudah bayanganku untuk menutupinya. Air mataku juga tidak bisa diajak
berkompromi sebentar. Seenaknya saja air mata ini keluar tanpa permisi. Aku
tidak bisa membuatnya berhenti. Seakan air mataku memberontak karena telah
tertahan sekian lama. Memang, selama ini aku berusaha untuk tidak menangis. Aku
menahannya. Aku pikir, tak perlu ada air mata. Aku tahu semua baik-baik saja,
semua akan kembali seperti semula, dia pasti akan kembali padaku suatu hari
nanti dan berjanji tidak akan menghilang lagi. Namun kenyataan tidak
mendukungku.
“Baiklah, malem ini aku bertemu dengannya”, kataku
disela-sela tangis. Lucky memelukku sambil meminta maaf lagi dan diikuti oleh
yang lainnya. Sebenarnya aku ingin berterima kasih, karena mereka, aku bisa
mengulur waktu lebih lama menyandang status itu. Tapi, tak ada satupun kata yang terucap. Aku
semakin tenggelam dalam tangisku. Tak peduli berapa mata tertuju padaku.
***
Kenapa hari ini berlalu begitu cepat. Malam sudah datang. Satu
jam lagi Akbar datang menemuiku. Walaupun ada beribu kata tidak siap di otakku,
aku sudah tidak bisa menghindarinya lagi. Harus kutemui dan kuterima kenyataan
ini.
From: Akbarlalala
Aku sudah di dpn kost mu
Setelah membuka sms
dari Akbar, aku menyempatkan berkaca terlebih dahulu, melihat penampilanku
sebentar, memastikan mataku sudah tidak bengkak lagi akibat menangis terlalu
lama. A-I-U-E-O. Aku menggerak-gerakkan mulutku dan melatih senyumku agar tidak
kaku. Aku keluar kamar, perjalanan menuju pintu depan kost terasa berat. Perutku
terasa seperti dililit, sakit banget. Dag dig dug jantung berdetak tak
beraturan. Perasaan ini pernah kurasakan sebelumnya, sama seperti saat aku
menghadapi hari pertama UAN di SMA.
Tubuh Akbar yang tinggi
terlihat semakin membesar saat aku mendekat. Aku duduk di sampingnya. Obrolan
ringan pun terjadi. Sampai akhirnya perbincangan berada dimana seharusnya. Lucu
sekali, di tempat yang sama, Akbar memohon dua kali. Dulu dia memohon untuk
jadi pacarku dan sekarang dia memohon untuk menjadi temanku. Ingin rasanya aku menangis
lagi di depannya agar bisa tetap bersamanya. Aku ingin dia tahu, aku lemah
tanpanya. Mungkin jika aku menangis sekali lagi, ada rasa iba darinya dan dia
mengurungkan niatnya untuk menyudahi semua ini. Namun, air mataku tidak mau
berkompromi lagi, kali ini tidak mau keluar.
“Beneran sudah enggak
bisa lagi kah?”, sedikit ada nada memohon dariku.
“Aku sudah enggak bisa.
Bener-bener sudah enggak bisa sama kamu lagi Marin”, dia terlihat tersiksa rasanya
jika terus bersamaku. Sebulan lebih hubungan kita buruk. Dia capek, aku pun
juga capek. “Kalau sama-sama capek seperti ini, mending kita sudahi aja. Aku
senang, kamu juga”.
‘Kamu
salah sayang, enggak mungkin setelah ini aku bisa senang’,
aku hanya bisa berkata dalam hati. Entahlah apa yang bakal terjadi besok. Aku
tidak akan menahannya lagi. Banyak yang ingin aku tanyakan sebenarnya. ‘Apa alasannya sampai kamu seperti ini? Adakah
orang lain yang lebih baik dariku? Apakah aku telah melakukan kesalahan? Apakah
perhatianku kurang? Apakah aku tidak ada saat kamu butuh?’ Semuanya tidak
bisa aku tanyakan. Karena aku hanya diam, tak ada kata-kata yang keluar dari
mulutku.
“Sudah malam, aku balik dulu. Tersenyumlah”, Akbar
menyalakan motornya dan pergi menghilang dari pandangan. Kenapa air mata ini
tidak tertib sama sekali sih? Saat Akbar tidak ada, dia malah keluar seenaknya
lagi. Posisiku tidak berubah sama seperti saat ada Akbar tadi. Duduk kaku. Yang
membedakan adalah kini aku menangis.
Kenapa
sayang kau pergi
Aku
ingat saat kau jatuh, aku ada untukmu
Saat
kau rindu, aku selalu ada di sisimu
Iya
aku ingat sekali aku selalu ada
Tapi
kenapa sekarang kau pergi?
Padahal
aku selalu ada
Padahal
aku selalu ada
***
0 komentar:
Posting Komentar