Aku sudah enggak punya kesempatan lagi...
Enggak tau harus mulai dari mana dulu aku menulis, kini mataku buram karena butiran-butiran air mata yang keluar seenaknya saja tanpa sopan santun. Aku enggak bisa membuatnya berhenti. Seakan air mataku memberontak karena telah tertahan sekian lama. Kepalaku pusing, seperti ada palu yang mematuk-matuk. Ya Tuhan, sebegitu rapuhnyakah aku?
Mengingat kejadian beberapa hari ini, membuatku terlihat sangat bodoh di hadapan teman-temanku. Berawal dari pertemuan yang tidak disengaja di hari terakhir pameran yang di adakan universitasku. Malam begitu ramai, yang seharusnya bisa membuatku senang tiba-tiba hancur. Aku berjalan bersama beberapa temanku. Saat itu, terlintas senyuman di wajahku, bahkan aku masih bisa tertawa lebar. Sampai dia muncul. Tubuhnya yang tinggi nampak dari kejauhan. Mata kami saling beradu. Sesaat jantungku berenti, setengah enggak percaya sama yang kulihat. Ini ketiga kalinya aku datang ke pameran. Pameran yang mungkin sudah ditunggu-tunggu. Aku berpikir, pasti semua orang akan datang, termasuk dia. Harapan pertama ketemu dia musnah di hari kedua pameran, aku sudah berusaha melihat di semua tempat, di sela-sela kerumunan orang, tapi aku enggak berasil menemukannya. Begitu pula saat aku datang di hari keempat pameran. Aku mencobanya lagi seakan aku mencoba memenangkan undian laptop di tutup botol Coca-cola. Hari kelima hari terakhir pameran. Keinginanku bertemu dengannya tak sebesar kemarin-kemarinnya. Mungkin belum waktunya bertemu pikirku. Aku tak mempersiapkan apapun untuk berjaga-jaga kalau terjadi hal yang tak terduga seperti malam itu. Akupun tau dia juga tak menduganya. Terlihat di wajahnya. Saat dia semakin mendekat, muncul sedikit senyuman darinya. Lalu dia terus berjalan melewatiku. Hatiku menciut, hanya seperti itu kah responnya saat melihatku? Tanpa disuruh aku langsung memanggil namanya. Tak ada tanda-tanda dia mendengarku, atau mungkin dia sengaja untuk tidak mendengarku. Aku berlari ke arahnya, memanggilnya lagi. Jarak kita enggak jauh. Aku tepat di belakangnya. Berlari kecil berusaha menjaga jarak mengikuti langkahnya yang lebar. Aku tetap memanggilnya. Tak sedikitpun dia menoleh. Aku tarik bajunya, memaksanya berenti. Sudah ku buang harga diriku untuk mengejarnya. Tindakan ini berhasil. Dia berhenti dan berkata, “Apa?”. Aku melongo. ‘Apa?’ Sudah lama enggak ketemu cuma ‘apa’ yang bisa kamu keluarkan dari mulutmu? Enggak bisakah ditambah satu kata lagi. Kabar, misalnya? Perbincangan tak cukup lama. Aku bingung juga mau ngomomg apa. Sikonnya enggak mendukung sama sekali. Aku bilang padanya, kita harus ketemu setelah ini.
Beberapa hari setelah kejadian itu hapeku rusak. Bingung gimana caranya buat ngubungin dia. Terlintas pikiran licik di otakku. Ya sudah, kalau enggak bisa ngubungin dia, berarti kita enggak ketemu. Mengajak dia buat ketemuan serius itu adalah hal bodoh bagiku. Aku tau, setelah bertemu nanti, keadaan enggak bakal membaik. Mungkin itu bisa jadi pertemuan terakhirku. Aku masih bisa mengulur waktuku. Aku masih punya kesempatan memiliki 'status' itu.
Seminggupun berlalu.
Sim cardku dipengang Lisa, teman sekamarku. Saat kuliah sore, Lisa memberi tauku kalau orang itu sms di nomerku, mengajakku untuk ketemuan. Sakit langsung menyerang perutku. Mules tak tertahankan. Enggak bisa lagi mendengarkan apa yang dosen terangkan saat itu. Aku belum siap. Aku belum siap. Aku belum siap. Hanya itu yang muncul di otakku. Aku menunda lagi. Aku enggak memberi kepastian kapan aku bisa bertemu dengannya. Aku mengarang alasan, aku bilang biar aku sendiri yang mengatakan padanya. Aku mencuri kesempatan lagi.
Ada yang bertanya kepadaku kenapa aku takut bertemu dengannya? Aku menjawab, “Setelah bertemu dengannya aku takut, suatu hari saat aku terbangun dari tidurku, aku sadar, aku bukan siapa-siapanya lagi”.
Entah, sepertinya ada yang disembunyikan oleh Lisa dan Onya —teman sekamarku yang lain— tentang dia. Itu membuatku bingung. Merasa bodoh. Lisa bilang, “Kemungkinan itu ada dua, kalau bukan terbaik ya terburuk. Siapin dulu semuanya sebelum ketemu dia. Kalau ada sesuatu yang tidak diinginkan, janji ya jangan sampai terpuruk kayak kemarin, jangan nangis”. Aku mengangguk berjanji asal. Tanganku gemetar, dadaku sesak. Membayangkannya pun aku enggak sanggup. Saat itu juga aku ingin menangis. Namun, aku tahan. Aku enggak mau menangis di depan mereka. Aku enggak mau mereka mengasihaniku.
Hari berikutnya—malam ini— aku baru tau semua apa yang mereka sembunyikan dariku. Ternyata sms dari orang itu bukan untuk mengajak bertemu melainkan menyudahi semuanya. Air mataku langsung keluar tanpa permisi. Aku terlarut dalam kesedihanku sendiri. Aku tak mempedulikan apa yang ada di sekitarku. Padahal banyak yang mengkawatirkanku. Aku memutuskan untuk bertemu dengannya malam ini juga. Karena aku sudah enggak bisa mencuri kesempatan lagi. Kesempatannku sudah hilang. Aku harus menghadapinya, walaupun ada beribu-ribu kata aku enggak siap di otakku.
Setelah tiga jam, air mataku berhenti. Perlahan menata semuanya, merapikan yang bisa aku rapikan di dalam hati ini. Lalu aku menerima sms darinya, itu tandanya aku harus keluar kamar dan bertemu dengannya. Aku menyempatkan waktu sebentar untuk berkaca, melihat penampilanku, aku oleskan sedikit bedak di wajahku, kulatih senyumku agar tidak kaku. Setelah menurutku sudah cukup, aku menemuinya. Perjalanan menuju portal asrama terasa berat. Lagi-lagi mules melilit perutku. Dag dig dug enggak karuan. Perasaan ini pernah kurasakan sebelumnya, sama seperti saat aku menghadapi hari pertama UAN di SMA.
Sosoknya terlihat, semakin membesar saat aku mendekat. Aku duduk di sampingnya. Obrolan ringan pun terjadi. Sampai akhirnya perbincangan berada dimana seharusnya. Lucu sekali, di tempat yang sama, dia memohon dua kali. Dulu dia memohon untuk jadi pacarku dan sekarang dia memohon untuk jadi temanku. Ingin rasanya nangis-nangis di depannya agar tetap bersamaku. Tapi enggak bisa. Aku enggak tau apa air mataku sudah habis atau apalah aku enggak tau. Dia terlihat tersiksa rasanya jika terus bersamaku. Dia capek, aku juga capek. “Kalau sama-sama capek seperti ini, mending kita sudahi aja. Aku senang, kamu juga”, katanya. Kamu salah sayang, enggak mungkin setelah ini aku bisa senang. Entahlah apa yang bakal terjadi besok. Aku juga enggak akan menahanmu lagi. Aku enggak akan berusaha mencuri kesempatan lagi. Lalu aku meminta satu permintaan darinya, tanpa basa-basi dia berjongkok di sebelahku menandakan siap melakukan semua permintaanku. Konyol sih, aku memintanya mengucapkan selamat ulang tahun. Tak apalah meski sudah berganti bulan. Aku menikmati sisa-sisa waktu untuk melihat wajahnya. Mungkin Allah sedang tersenyum saat menciptakanmu dulu, karena betapa indahnya ciptaan Tuhan yang sedang aku lihat sekarang ini.
Sebenarnya, teman-temanku menyuruhku agar aku yang terlebih dulu menyudahi semua ini. Tapi buat apa teman? Aku ataupun dia yang bilang sama saja. Aku sama-sama hancur dibuatnya. Dia pun begitu, seakan berharap aku marah padanya, aku benci padanya. Pasti ku lakukan andai ku bisa. Marah? Benci? Aku sudah enggak punya kekuatan lagi untuk melakukannya. Sudahlah. Kalau jadi pacarmu membuatku semakin jauh darimu, kenapa harus aku pertahankan? Mungkin berteman lebih baik. Mungkin.
Aku melakukannya lagi. Sekitar dua tahun yang lalu, aku melepaskan seseorang dan tidak berusaha keras menahannya untuk tetap tinggal. Sekali lagi aku melihat punggung seseorang yang meninggalkanku.
Aku belum tidur, dan aku sudah tersadar. Kini aku bukan siapa-siapanya lagi...
Kamis, 03 Mei 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
nyesek akuuu baca ini :'(
loh kok nyesek? -,-
Posting Komentar